Kisah-Kisah Cinta Dalam Hidup Kahlil Gibran
Dalam perjalanan masa muda Khalil Gibran ada beberapa hal dan peristiwa yang penuh kesedihan, yaitu: rasa cinta kepada Ibu dan keluarganya, rasa cinta kepada tanah airnya, dan hubungan cintanya dengan perempuan-perempuan yang pernah dekat dengan perasaannya, baik dengan kekasih maupun sahabat yang mengerti dirinya. Cinta romantiknya tak pernah menjadi seperti harapannya dan selalu berakhir dengan kesedihan, meski kemudian dia mencoba menjalin cinta kembali dengan beberapa wanita yang amat dekat dan mempengaruhi hidupnya. Namun, sampai akhir hidupnya ia tetap hidup sendiri. Pengalaman ini membuat tutur bahasa Gibran tentang cinta hampir semuanya bernuansa kesedihan. Beberapa perempuan yang sangat mempengaruhi Gibran di antaranya:
1. Hala Fakher
Pada liburan musim panas kedua di Bisharri, Gibran mengenal keluarga Tannous Asad Hanna Fakher yang terkemuka di masyarakatnya. Kemudian Gibran jatuh cinta terhadap putri Tannous Asad Hanna Fakher, Halla Fakher. Begitupun dengan Hala Fakher. Di sebuah hutan dekat biara Mar Sarkis adalah tempat pertemuan rahasia mereka berdua oleh karena hubungan cinta Gibran dan Hala dilarang oleh kakak Hala. Hubungan mereka kemudian berakhir dengan perpisahan yang menyedihkan. Dalam 'Sayap-Sayap Patah', Gibran mengenang Hala dengan nama Selma Karamy yang dipaksa menikah dengan keponakan seorang Uskup. 'Sayap-Sayap Patah' menetapkan Gibran sebagai seorang pembela hak asasi perempuan Pertama di Timur Tengah.
Gibran juga mengutarakan sifat temperamen masa remajanya: "tercabik oleh dua kekuatan. Kekuatan pertama mengangkatnya dan menunjukkan kepadanya keindahan eksistensi lewat mega impian; yang kedua mengikatnya pada bumi dan memenuhi matanya dengan debu serta menguasainya dengan kecemasan dan kegelapan. Dalam 'The Broken Wings', Gibran dapat meredakan sifat temperamennya ketika hubungan cintanya dimulai dengan Hala Fakher. (Bushuri dan Joe Jenkins, 2000: 51)
2. Josephine Preston Peabody
Seorang penyair wanita yang lembut dan luar biasa cantik ini berusia 24 tahun, berasal dari keluarga ningrat. Josephine-lah yang menghibur Gibran ketika Ibunya sakit dan tahun-tahun berduka Gibran ketika meninggalnya. Atas bantuannya, lukisan-lukisan Gibran memperoleh sambutan hangat dari masyarakat seni dan sekaligus menjadikannya seorang seniman. Josephine menulis puisi pendek yang diberinya judul "Hits Boyhoos" dan kemudian mengubahnya menjadi "The Prophet". Menurut banyak pengamat bahwa benih-benih agung dalam tulisan Gibran yang terakhir 'The Prophet' kemungkinan tumbuh ketika berteman dengan wanita lembut ini. (Young, 1927: 107).
Pada pameran foto Fred Holland Day di Boston Camera Club 1898, adalah pertemuan pertama kali mereka, Gibran yang waktu itu berusia 15 tahun dan Josephine berusia 24 tahun. Tiga tahun kemudian, sepulang Gibran dari Lebanon mereka semakin dekat. Bagi Josephine, hubungannya dengan pemuda Lebanon ini menggugah imajinasinya dan memberinya wawasan ke dalam wilayah pemikiran baru; sedangkan bagi Gibran, Josephine menggerakkan di dalam dirinya perasaan-perasaan kuat diilhami oleh kecantikannya dan kecemerlangan pikiran-pikiran Josephine. (Brushui dan Joe Jenkins, 2000: 60-61). Pada ulang tahun Josephine yang ke-31 hubungan mereka berakhir.
3. Mary Elizabeth Haskell
Perempuan yang menjabat sebagai seorang Kepala Sekolah di Miss Haskell's School for Girls di Malborough Street, Boston yang populer. Pembawaannya anggun dan ramah ia mengilhami murid-muridnya untuk belajar dengan baik. (Bushrui dan Joe Jenkins, 2000: 139). Bulan Desember 1910 Mary dan Gibran makin sering menghabiskan waktu bersama-sama. Sebagai guru, Mary cermat membantu Gibran menyempurnakan bahasa Inggris lisannya, dan bermalam-malam ia membaca keras-keras puisi Swinburne untuk Mary (Bushrui dan Joe Jenkins, 2000: 141). Hubungan mereka yang makin erat, dan cinta mereka satu sama lain makin besar tercermin dalam Jurnal Mary. Karena mengenali semangat yang sama dalam diri Mary pada 10 Desember 1910, Gibran mengatakan kepada Mary "andainya bisa," menikahinya, tapi Mary menolaknya. (Gibran, 1915: 23).
Mary amat penting dalam perkembangan Gibran sebagai seorang laki-laki sekaligus filsuf dengan visi penyair. Dalam sebuah kalimat ia mengungkapkan hubungan mereka: "aku tertarik kepadamu dalam suatu cara istimewa, waktu pertama kali melihatmu. Aku kenal banyak orang di Boston waktu itu, orang lain mengganggap aku menarik. Mereka senang mengajakku bercakap-cakap, karena aku tidak lazim bagi mereka. Tetapi kau benar-benar ingin mendengar apa yang ada di dalam diriku. Kau terus membuatku menggali lebih dalam." (Bushrui dan Joe Jenkins, 2000: 65).
4. May Ziadah
Dia perempuan Palestina, seorang penyair, kritikus sastra, cerdas, dan aktif. Ia banyak menulis tentang beberapa hal dalam bahasa Arab, Inggris, dan Perancis. Dalam diri May Ziadah, Gibran menemukan teman dialog yang seimbang, yang mampu memahami beban batinnya serta mampu memberikan masukan dan dorongan untuk meringankannya. Gibran banyak mencurahkan segala beban dan angannya ke dalam surat-surat kepada May, baik tentang kondisi kesehatannya, perasaan-perasaan yang dirudungnya, harapan-harapan yang memenuhi kepalanya, dan kerinduannya akan pertemuan dengan May Zaidah sendiri.
Simbol yang digunakan Gibran untuk mengungkap kedewasaan yang hakiki pada diri manusia sekarang juga mulai menjadi simbol cinta abadi kepada May. Dalam surat-suratnya dengan May, Gibran menggunakan kata "rindu" untuk mencerminkan suatu kerinduan spiritual, suatu cinta yang tidak memerlukan kata-kata untuk mengungkapkan dirinya sendiri karena merupakan himne suci yang terdengar lewat kesunyian malam. Cinta semacam itu sulit digambarkan, sekalipun melibatkan unsur Platonik dan Spiritual (Bushrui dan Joe Jenkins, 2000: 295). Gibran dan May, ditakdirkan tidak saling bertemu tetapi semakin dapat menghayati cinta itu dalam hati mereka masing-masing.
Kisah-Kisah Cinta Dalam Hidup Kahlil Gibran
Reviewed by Dany
on
September 06, 2011
Rating:
No comments